Mengeja Jendela

Resya Lestari
3 min readFeb 13, 2023

Seluruh orang bersepakat menyebutnya jendela. Umumnya jendela mengisi lubang pada bidang vertikal dinding, sifatnya mengalirkan angin dan menembuskan cahaya. Karakter dengan fungsi yang serupa didapatkan dari skylight, sebuah bidang tembus cahaya yang menghubungkan atmosperik biru langit luar dengan ruang dalam. Ada juga roster, berupa lubang — lubang berukuran kecil yang bersifat menunjang fungsi jendela agar sirkulasi udara di dalam lebih optimal. Yang membedakan jendela dengan kawanannya yang lain ialah kedekatan antropometriknya dengan si pengguna — manusia. Dialog jendela dengan anggota tubuh menghadirkan kecakapan interpersonal dalam dialektika kesehariannya. Bagaimana tangan dapat meraba dan menjangkau dengan mudah ke segala sisinya. Bagaimana mata dapat melihat ruang luar dengan skala pandang yang ajeg terakomodasi sebagaimana ia yang diproduksi oleh kelihaian tukang atau dari hasil pabrikasi melalui tutur implisit nya: sebuah jendela untuk melihat dunia.

Menjadi spektator dari posisi yang relatif atas entitas apa — apa yang terlihat di luar jendela sebetulnya mengangkat pemahaman atas skala penghayatan yang hierarkis. Relasi penghayatannya dapat berupa visual vista yang sederhana, seperti mengintip kucing yang sedang lelap dalam teduh pohon halaman depan atau mengusiknya ketika ia kedapatan mampir membuang tahi. Jendela tak ubahnya juga menjadi medium kontemplasi yang tak kasat mata. Banyak sajak picisan terlahir dari kepenulisan di balik jendela, nafasnya termaktub dari bait — bait yang mencuri sendu di rintik hujan, semburat langit petang, atau menyibak memori masa silam pada setiap antologi lamunan. Sehingga jelas — kehadiran jendela dalam sebuah ruang tak sekedar bermandikan fungsinya yang inti. Sebuah jeda diciptakannya untuk bernafas dalam kungkungan tembok — tembok tinggi nan solid yang sering dibuat tidak bernalar, membikin ruang mengerang.

Membacanya dalam praktik arsitektur, manifestasi jendela di rumah tradisional di Lombok berwujud dalam celah — celah anyaman bedeg yang membawa sedikit berkas cahaya dari luar ke ruang dalam. Praktik ini selaras dengan ritme aktivitas yang dijalani, sebab rumah bagi mereka tidak lebih untuk beristirahat dan menutup privasi. Pagi hingga sore hari banyak digunakannya untuk berpeluh di luar.

Di salah satu dinding Rumah Intaran di utara Bali, jendela dikiaskan melalui barisan kurungan bambu yang berjejer tiga secara vertikal. Bentuknya yang lebar dan bervolume secara sopan menegasikan volume air hujan yang jatuh agar tidak masuk ke ruang dalam. Di depannya rimbun pohon intaran membangkit girah bagi siapa saja yang menyaksikannya dari dalam ruang melalui batas yang diciptakan oleh celah — celah jendela kurungan. Rasanya magis — aroma, visual, cahaya dan angin mengalir begitu derasnya menggiring dimensi aku menuju penghayatan transendensial.

Pada abad Barok, sebuah masa dimana langgam Venetian dan simfoni Schubert bereuforia. Rumah — rumah dibangun dengan jendela melangit, bahkan separuh dinding berisikan jendela yang kemudian membuatnya lebih penting dari pintu. Setelah waktu melampaui sejarahnya, kehadiran jendela agaknya mulai terabaikan. Dinding — dinding bekerja dengan kaca kaca mati yang tinggi. Ruang — ruang bernafaskan aircon, tidak peduli pada kucing yang telah menumpuk tahi di perkarangan. Besi besi struktur saling bertalian menghimpit ruang yang konon berbicara atas dasar efisiensi. Bahkan pada kebanyakan ruang — ruang komersial yang menuntut komodifikasi atas asas kuantitas dibanding kualitas. Ruang hijau sebagai medium jendela bersilang udara didikte tunduk tak berdaya lepas dari konsep utilisasnya.

Bird Box, Netflix 2018

Beruntungnya, di ruang luar kita sekarang, tidak ada teror misterius atau monster yang berkeliaran seperti halnya pada film Bird Box (2018), dimana setiap orang mengunci pintu dan menutup seluruh jendela agar tidak mendorong seseorang untuk membunuh diri. Lantas, stigma apa yang kini berkelindan dalam tembok — tembok ruang yang mengunci diri? Yang hendak mengorbankan separuh nilai transenden pada relasi antar mikro dan makrokosmosnya? Perlukah kita membaca dan mengeja jendela kembali dengan pelan — pelan?

Pukul 17.30. Astaga. Essai ini sedikit cepat ditutup sebab penjaja kue putu bersiul siul memanggil, terlihat dari balik jendela tempat ku menulis.

Resya Lestari, 2023

--

--